Rabu, 26 Oktober 2011

Psikologi Kewirausahaan



Psikologi Kognitif Kewirausahaan

Psikologi kognitif bertujuan untuk memberikan sebuah cara pandang yang tepat  tentang proses pemikiran kognitif secara wirausaha.  Psikologi kognitif adalah mempelajari tentang cara manusia menerima, mempersepsi, mempelajari,menalar, mengingat dan berpikir tentang  suatu informasi.  Riset kognitif kewirausahaan adalah patokan bagi para pengusaha untuk menjadi wirausahawan sejati.  Fenomena kognitif penting kaitannya dalam proses penangkapan suatu peluang.
            Cara yang paling mudah untuk memahami secara utuh ruang lingkup riset kognitif adalah dengan melakukan survey terhadap berbagai buku dan primers pilihan yang membahas mengenai psikologi kognitif.  Berikut ini adalah elemen-elemen yang penting untuk diingat dalam riset kognitif mengenai kewirausahaan :
·         Persepsi, yakni prasangka, perhatian dan kesadaran
·         Pengambilan keputusan yang meliputi penyelesaian masalah, kreativitas, kecerdasan dan kemampuan heuristik
·         Pengetahuan yang meliputi daya ingat dan bahasa
·         Pembelajaran dan Perkembangan kognitif
            Cara yang lain dalam memahami riset kognitif adalah dengan melihat pada tiga tingkatan fenomena kognitif menurut Herbert Simon, seperti yang ditulis dalam Sarasvathy.  Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut :
·         Semantik atau tingkat permulaan
·         Symbolis atau tingkat struktur dalam
·         Neurologis atau tingkat biologis
            Peluang dalam bidang kewirausahaan dapat ditemukan atau diciptakan.  Untuk mengidentifikasi peluang yang mencul dipengaruhi oleh lingkungan dan potensi diri seseorang.  Potensi diri seseorang terdiri dari :

PERSEPSI
            Persepsi adalah suatu proses yang di tempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan.  Namun apa yang merupakan persepsi seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang obyektif.  Karena perilaku orang didasarkan pada persepsi mereka akan realitas dan bukan pada realitis itu sendiri. 
            Menurut Dutton dan Jackson, persepsi peluang dimulai dari dua persepsi yang pertama “peluang” merupakan hasil yang bisa dikontrol dan sifatnya positif sedangkan yang kedua “ancaman” merupakan hasil yang tidak bisa dikontrol lagi dan sifatnya negatif.  Persepsi peluang ini berdapak dalam pengambilan resiko.
            Pengambilan resiko dipengaruhi oleh situasi dan kondisi (March dan Shapira, 1987):
Bertindak Berdasarkan Peluang – Optimisme dalam Mengambil Keputusan
            Tindakan manusia berakar pada banyak hal, tetapi kebanyakan peneliti percaya bahwa keputusan dibuat sebelum mengambil tindakan (Audi, 1993).  Pengambilan keputusan dalam aktivitas kewirausahaan didasari oleh fenomena kognitif.
Model Atribut – Optimisme sebagai Ketahanan Hingga Kesulitan
            Model atribut, pada dasarnya mengungkapkan bahwa bila individu mengamati perilaku, mereka mencoba mengelompokkan apakah itu disebabkan faktor internal atau ekternal, stabil atau tidak stabil, umum atau spesifik, dan sebagainya.
Persepsi Tradeoff dalam Membuat Keputusan
            Lopes (1985) menjelaskan  bahwa tradeoff sebagai bentuk antara “harapan” dan “ketakutan”.  Harapan merupakn sisi atas sedangkan ketakutan merupakan sisi bawah.  Semua ini menguatkan pandangan bahwa persepsi peluang merupakan manifestasi dari keinginan (“harapan”) dan keterpaksaan (“ketakutan”).
Peran Identitas
            Pengusaha yang potensial lebih memilih untuk berwirausaha lewat perkembangan mental mereka, lingkungan dan juga fenomena kognitif yang berhubungan dengan pengelompokan (Jenilek dan Litterer, 1995; Krueger dan Hamilton, 1996).

KEMAUAN
            Kemauan sangat penting untuk memahami perilaku manusia.  Kemauan merupakan inti dari perilaku manusian.  Kemauan adalah keadaan kognitig yang prior sementara dan berpindah ke perilaku. 
Teori  Reasoned Action dan Planned Behavior
            Teori Reasoned Action (TRA) DAN Teori Planned Behavior (TPB) dikemukan oleh Ajzen dan Fishbein merupakan teori yang lebuh komprehensif karena memasukkan faktor-aktor, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri individu.
            Teori Reasoned Action (TRA) menjadi teori yang menjelaskan bagaimana dampak sosial dari kemauan seseorang.  Dampak gabungan antar sikap seseorang dengan norma disekitarnya dapat membuktikan hal tersebut secara konseptual dan emperically-robust (Sheppard, 1998).
            Teori Planned Behavior (TPB) membuktikan bahwa kemauan yang kuat sulit terbentuk.  Kompetensi seseorang dalam berperilaku sesuai dengan tujuannya sangatlah penting (Ajzen, 1991).
Model Entrepreneurial Event Shapero (SEE)
            Shapero menegaskan Entrepreneurial Event didefinisikan sebagai pencapaian perilaku dalam berwirausaha.  Model ini tergantung pada peluang yang menonjol.  Sebuah peluang dikatakan menonjol apabila memiliki dua persepsi, yaitu perception of desirability (yang diinginkan baik secara pribadi maupun sosial) dan perception of feasibility (secara terpaksa/layak).
Tes Empiris
            Model Shapero adalah yang pertama kali diuji coba dalam lingkup kewirausahaan (Krueger, 1993a).  Krueger dan Carsrud (1993) juga mengenalkan TPB dalam risetnya.  Sementara, Kolveried (1997) sukses mengadaptasi TPB dalam tesnya terhadap kewirausahaan.  Dan bisa dilihat, bahwa TPB dan SEE mempunyai hasil yang komprehensif (Krueger, Reilly dan Carsrud, 2000).
Model Multiplicative
Banyak variasi model lainnya, contohnya adalah Norway. Dua sarjana ini mengelompokkan model tersebut sebagai multiplicative dibandingkan additive. Apabila seseorang mengambil sebuah keputusan dalam usahanya tanpa keinginannya, maka tak akan ada yang dapat menolongnya. Bjornar Reitan (1997) menambahkan, ada tiga aspek yang perlu diperhatikan. Aspek tersebut adalah keuntungan, keinginan dan keterpaksaan. Truls Erickson (2001) hanya menggunakan dua dari tiga aspek diatas.
Salah satu hal yang menarik dari model multiplicative ini adalah persentase berhasilnya yang besar dalam riset kewirausahaan Tidak peduli usaha apa yang akan dijalankan, 3 aspek tersebut membentuk sebuah tingkatan yang saling menopang satu sama lain dalam sebuah keterpaksaan.
Set Theory
            Cara lain untuk menguji hal diatas adalah dengan menggabungkan dua perangkat teori (yang diinginkan dan layak). Pendekatan ini secara teoritis cocok dengan fenomena ini. Hanya saja, terbesitlah dua pertanyaan. Yang pertama, bagaimana kita mengidentifikasi penopangnya. Dalam hal ini, Baron mencatat beberapa teori yang dapat menjawab pertanyaan ini. Dan kedua, apakah sebuah usaha tidak berhubungan dengan membuat keputusan?
Utility Theory
Teori lain yang dapat digunakan untuk meneliti sebuah kemauan adalah dengan menggunakan teori Utility. Sebagaimana manusia sering mengambil keputusan dalam berbagai kriteria, kita juga dapat mengelompokkan peralatan dalam pemasukan, kemandirian, rasa puas dalam bekerja untuk memulai sebuah usaha (Douglass dan Sheperd, 1997; Douglas dan Sheperd, 2001).
Yang unik dari teori ini adalah, kurva peralatan biasa dihubungkan dengan risiko. Namun, kurva kegunaan ini memiliki sifat yang tidak pasti, terutama terhadap pengambilan keputusan baik secara optimis maupun pesimis, yang disebut juga sebagai (controllable risk) dan (uncontrollable risk) (Hey, 1984). Menurut Loomes dan Sugden (1982), kita pada umumnya lebih memilih untuk memperkecil risiko atau memperbesar keuntungan. Hal ini menimbulkan pertanyaan baru, apakah keoptimisan (termasuk perilaku mencari peluang) dapat dikelompokkan dengan peralatan, sedangkan perilaku seseorang untuk menghindari sebuah ancaman dikelompokkan sebagai upaya untuk memperkecil risiko?
Variabel yang mempengaruhi kemauan adalah :
·         Sikap
·         Demografis
·         Situasional
Keuntungan Dari Model Kemauan
            Model Kemauan (Shapero, 1982; Kreuger dan Brazeal, 1994; Krueger, 2000)  Kemauan dipengaruhi oleh persepsi peluang  dan pengaruh dari faktor luar berupa intuisi atau naluri(propensity of act).  Persepsi peluang itu sendiri dipengaruhi oleh keinginan dan kelayakan.  Keinginan dipengaruhi oleh keinginan pribadi dan sosial.  Kelayakan dipengaruhi oleh self efficacy dan collective efficacy.  Keinginan pribadi dan sosial serta self efficacy dan collective efficacy dipengaruhi oleh faktor endogen (pribadi-situasional).
1.      Untuk meneliti perilaku berwirausaha
2.      Untuk memahami mengenai faktor yang mempengaruhi perilaku dan kemauan
3.      Untuk memprediksi kekuatan adaptasi seseorang akan situasi yang dialaminya lewat variabel diatas
4.      Merupakan satu-satunya jalan untuk menuju empirisme
Kerugian Dari Model Kemauan
1.      Kemauan dapat berubah dalam waktu dan kondisi yang tidak terduga
2.      Kemauan wirausaha tidak dapat dibatasi hanya dengan pengambilan keputusan dalam berusaha
Implementasi Kemauan
1.      Awal Mula.  Orang baru saja memulai usahanya memiliki titik awal lebih baik, dibandingkan dengan seseorang yang sudah berpengalaman yang mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan.
2.      Visi.  Kemauan yang dibangun oleh mental seseorang dan tujuan dari kemauan.
3.      Motivasi Yang Berkembang.  Kemauan merupakan satu-satunya jalan menuju empirisme.
4.      Pengaruh Sosial.  Dukungan dapat memotivasi individu dalam mengambil keputusan.
5.      Pengakuan Sosial.   Norma sosial dari kemauan dapat mempengaruhi potensi diri seseorang.
6.      Infrastruktur kognitif.  Potensi wirausaha terdapat pada kualitas dan kuantitas seorang pengusaha (Krueger dan Brazeal, 1994) yang membutuhkan peningkatan pola pikir.  Tujuannya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pengusaha dalam melihat dan menangkap peluang.
Tiga Cara menggali infrastruktur kognitif (Brazeal, 1993; Kuratko, 1993; Krueger dan Brazeal, 1994; Brazeal dan Herbert, 2000)
1.      Mengembangkan sikap
2.      Norma sosial
3.      Potansi diri

BELIEF STRUCTURES : PERSEPSI AKAN POTENSI
            Persepsi akan potensi adalah kompetensi (Bandura, 1986, 1995).  Kompetensi berarti kepercayaan diri untuk berperilaku.  Bandura berpendapat perubahan potensi diri mereflekasikan perubahan yang sangat mendalam.  Potensi diri dipengaruhi oleh pengalaman terutama pembelajaran.   Potensi diri adalah pembinaan dalam kewirausahaan.
Konsep Kerja
            Potensi diri memerlukan sumber daya manusia untuk menunjang kesuksesan.  Bandura mengatakan, potensi diri merupakan hal yang spesifik, terutama dalam mengerjakan pelatihan-pelatihan kerja.
Kerja Empiris
            Potensi diri dikonsep lewat variabel PxS (Person x Situation), dengan kata lain antara manusia dengan situasinya.  Gatewood dan koleganya (2002) menelusuri apa hubungan antara kemampuan seseorang dan ekspektasinya.  Kemudian, studinya diperkuat dengan landasan teori bahwa potensi diri memang berguna untuk membangun ekspektasi, tetapi mereka juga mengatakan bahwa kita harus hati-hati dalam menganalisa landasan teori untuk penelitian, terutama yang berhubungan dengan metode secara empiris.
            `Sangat penting sebuah pengukuran potensi diri seseorang dalam berwirausaha.  Chen dan koleganya (1998) mengembangkan instrumen dalam potensi diri untuk mendapatkan kunci kesuksesan seorang pengusaha.
Collective efficacy
            Bandura berpendapat, ada aspek penting dalam persepsi potensi, yaitu collective efficacy.  Collective efficacy adalah kemampuan seseorang untuk mempertimbangkan perilaku sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.  Brazeal dan Herbert (2000) mengatakan bahwa kita harus memahami persepsi collective efficacy sebagai aspek penting dalam kewirausahaan.
Arahan-arahan ke Depan (Future Direction)
            Banyak yang harus kita lakukan untuk mengembangkan (bahkan mengimplementasikan) potensi diri.   Terrence Brown mengembangkan sebuah pengukuran dalam kompetansi yang lebih spesifik dalam konsep potensi diri.  Kita juga harus mengetes hubungan antara tingkatan dan perubahan dalam potensi diri secara mendalam lewat struktur kognitifnya.

BELIEF STRUCTURES : Perbedaan Individual
            Tujuan riset kognitif adalah dapat membantu seorang pengusaha kembali menjadi seorang pengusaha yang produktif dan memiliki arah dan tujuan yang jelas.
            Robert Baron mengingatkan kita akan perbedaan individu yang lebih masuk akal daripada menilik pola pikir pengusaha.  Bahkan, pola pikir pengusaha hanyalah sebuah ilusi semata yang tidak mungkin dicari dan diidentifikasi secara ilmiah.
            Fenomena pola pikir pengusaha bukanlah variabel manusia semata, akan tetapi variabel yang melibatkan dua hal, yaitu manusia dan situasi (PxS, atau Person x Situation) yang meliputi kemauan, potensi diri, dan sebagainya.  Karakteristik ylang muncul dalam pengidentifikasian pengusaha juga dimiliki oelh orang biasa, seperti seorang manajer (Shaver dan Scott, 1991).  Riset difokuskan pada variabel yang lebih spesifik, seperti persepsi daripada meneliti kewirausahaan itu sendiri dimana ditemukan pandangan dasar yang layak untuk sebuah karakteristik pengusaha (Gartner, 1989).
Orientasi Kewirausahaan Personal
            Dalam karya Krueger (1999), persepsi peluang memiliki relasi dengan tiga karakteristik yang dikemukakan oleh Covin dan Slevin (1991), yaitu:
            Inovatif.  Merupakan sebuah sikap dimana seseorang mengeluarkan ide-ide baru dalam pola pikirnya secara positif untuk melihat peluang baru.  Buttner dan Gryskiewicz (1993) menemukan bahwa pengusaha pada umumnya inovatif.
            Proaktif.  Jill Kickul dan Lisa Gundry (2002) menemukan hubungan antara ke-proaktif-an dan aktivitas kewirausahaan.  Sedangkan Seligman (1990) mengenal optimisme sebagai perilaku yang proaktif.
            Pengambilan Resiko.  Perilaku manusia dalam mengambil resiko seringkali diengaruhi oleh situasinya.  Dalam studinya Robert Brockhaus, pengusaha cenderung hanya mengatur bagaimana rasio dia mengambil resiko.  Yang membedakan dengan orang biasa adalah cara mereka melihat peluang baru dalam sebuah resiko.

Hasrat untuk Bertindak
            Dalam modelnya Shapero (1975, 1982), pemikiran kewirausahaan seharusnya dihubungkan dengan hasrat seseorang untuk bertindak. Apabila tidak ada hasrat untuk bertindak, maka akan sangat sulit untuk menangkap peluang. Hal ini dapat membatasi kecenderungan seseorang dalam melanjutkan usahanya.
Sisi Gelap
            Akhirnya, sampailah kita pada sisi gelap pencarian peluang. Kets de Vries (1985), mengungkapkan bahwa kewirausahaan memiliki sisi gelap dimana para pengusaha bangkit melewati proses psikodinamik yang tidak berfungsi secara maksimal. Bisa jadi, mereka (pengusaha) akan melakukan segala cara untuk dapat menangkap adanya peluang.
            Pengambilan keputusan cenderung merefleksikan pola pikir (seperti pemikiran konstruktif Epstein).  Epstein (1998) menunjukkan ada beberapa prasangka yang dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan, seperti pemikiran akan adanya ”hitam dan putih”, ”baik atau buruk”, keajaiban yang bisa terjadi dan sebagainya.

DEEPER STRUCTURES
            Simon mengatakan bahwa tingkatan semantik kita berpindah dari tingkat dasar ke tingkat simbolis. Kemudian, secara kognitif, sikap dan kepercayaan yang terlihat secara jelas dari luar merefleksikan bagaimana kita paham akan suatu ilmu dan bagaimana ilmu itu digunakan.
Barbara Bird mengemukakan pendapatnya akan kewirausahaan sebagau suatu kemauan yang dipicu oleh struktur dalam seperti skema dan skemata. Yang lebih penting lagi, riset ini diharapkan bukan hanya untuk meningkatkan kemampuan kita dalam menjabarkan pola pikir kewirausahaan, tetapi juga membawa kita ke tingkat yang lebih dekat lagi pada kewirausahaan. Apabila kita ingin membawa pengusaha ke jalan kewirausahaan sejati, maka kita juga perlu merubah struktur dalam ini ke arah yang benar.
Skemata.  Ide yang menggambarkan kerangka kerja mental untuk pemahaman, pembentukkan ingatan.    Merupakan pola pemikiran yang paling dalam dari seorang pengusaha (Stapleton dan Stapleton, 1996). Beliau mengidentifikasi pengusaha sebagai sebuah mekanisme kognitif yang mengelompokkan informasi yang disaring masuk). Riset ini menunjukkan bahwa model pelatihan dapat mempengaruhi perkembangan pola pikir pengusaha (dengan kata lain skemata nya).
Scripts. (diuraikan ttg st hal dlm entrepreneurship shg kt bs memperoleh kunci untuk mengambil sebuah keputusan). Sebuah mekanisme kognitif yang menunjukkan dimana seseorang bertindak atas situasi dan keadaan disekitarnya.  Ron Mitchell dan Chesteen (1995) mengelompokkan kewirausahaan sebagai sesuatu yang mudah dilihat (seperti Mitchell dkk. 2000). Kunci untuk mengenalnya yaitu adalah dengan memahami bahwa orang yang sudah berpengalaman berbeda dengan pemula. 
Pemetaan. (mengiventarisir segala informasi tentang kewirausahaan secara lebih mendalam). Untuk mengukur seberapa besar kemauan seorang pengusaha dalam  berwirausaha (Jenkins dan Johnson (2000)).  Pemetaan sebab-akibat adalah alat yang hebat untuk membuktikan pengaturan strategi (Huff, 1990; Bougon dkk., 1997), namun hal ini belum diuji secara ilmiah dalam bidang kewirausahaan (Russell, 1999).

ENTREPRENEURIAL LEARNING (PEMBELAJARAN KEWIRAUSAHAAN)
            Pembelajaran kewirausahaan ini bertujuan untuk memahami bagaimana seseorang pengusaha menangkap dan memproses informasi.
            Ada dua faktor yang berfungsi sebagai penentu dalam edukasi :
1.      Pendekatan secara tradisional,  yang berfokus pada fakta-fakta (seperti menghafal, menjawab soal-soal secara terus menerus dan sebagainya).  Metode tradisional memberikan kontrol yang leluasa pada pengajar dan dinilai efektif untuk kelas dengan siswa yang cukup banyak.
2.      Pendekatan secara konstruktif,  pembelajaran dilakukan deimana para siswa tidak hanya mendapatkan ilmu pengetahuan, tetapi menerapkan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan.  Metode konstruktif cenderung berpihak pada siswanya.
Pengalaman Kerja
            Apabila pola pikir kewirausahaan memerlukan perubahan yang lebih dalam lagi lewat struktur kognitifnya, maka kita memerlukan banyak peluang untuk melakukan riset yang lebih spesifik lagi lewat aktivitas pelatihan dan pengalaman yang berbeda dari biasanya. Pengalaman biasanya dipengaruhi oleh persepsi akan munculnya peluang di masa depan (Shane, 2000).
            Pelatihan kerja secara formal memang membantu. Nicole Peterson, dalam tesisnya beliau mengemukakan bahwa pelatihan kewirausahaan dipengaruhi oleh banyak faktor dalam memulai sikap dan kemauan berwirausaha (Peterson dan Kennedy, 2002),  bahkan pekerjaan yang formal (Cox, 1996l Krueger, 2001b). Hal ini dapat dikaitkan dengan analisa ketrampilan, potensi diri, dan kemauan bekerja.
Keterampilan
Robert Baum dan koleganya (Baum dkk. 2001) menemukan bahwa perkembangan usaha dipengaruhi oleh motivasi dan ketrampilan tertentu. Monroy (1995) juga berpendapat bahwa pelatihan kewirausahaan didasarkan pada Input-Output, yaitu keluar masuknya informasi.
Para ahli berpendapat bahwa ketrampilan merupakan sesuatu yang harus dipelajari lewat kebiasaan. Berdasarkan teori akan potensi diri, mendapatkan ketrampilan saja tanpa percaya akan ketrampilannya tidak cukup untuk merubah pola perilaku seseorang. Hal ini dibantah oleh argumen Bandura yang mengatakan bahwa mendapatkan ketrampilan hanya diperlukan suatu proses yang berlangsung secara terus menerus. Dalam konteks kewirausahaan, Lanny Herron dan koleganya mengidentifikasi ketrampilan yang menjadi inti dari perilaku wirausahawan. Fiet dan Barney (2002) menunjukkan bahwa kunci dari mendapatakan ketrampilan didasarkan pada identifikasi peluang. Ada juga hal yang mengejutkan, seperti Baron dan Markman yang mengemukakan bahwa EQ (ketrampilan sosial) lebih penting (2000).

ARAH KEDEPAN UNTUK RISET LEBUH LANJUT
            Riset kognitif merupakan penelitian yang berguna untuk menjawab permasalahan kewirausahaan.  Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul pada riset kognitif kewirausahaan adalah:
            1.  Apakah peluang ditemukan atau diciptakan?
Persepsi berperan penting dalam kewirausahaan, terutama bagaimana pola pikir kewirausahaan memberikan kontribusi dalam sebuah perspektif.  Apa yang dapat dilakukan untuk menangkap sebuah peluang? Dan bagaimanakah cara untuk menangkap peluang lebih baik lagi?
            2.  Adakah efek dari sebuah kepribadian? Kalau ada, bagaimana efek tersebut bekerja secara spesifik.
Pada tulisan sebelumnya, kami berpendapat bahwa harus ada hasil yang berguna lewat riset karakteristik yang mempengaruhi kewirausahaan secara tidak langsung. Apakah menurut riset, seorang extrovert lebih suka berbelanja secara langsung sedangkan introvert berbelanja lewat katalog?) Apakah para pengusaha merupakan pribadi yang kompleks / rumit?
3.  Apakah para pengusaha beradaptasi secara kognitif?
Pribadi wirausaha dapat dibentuk, bukan dilahirkan secara biologis. Fokus dari kewirausahaan sudah seharusnya diterapkan pada tingkat dimana pengusaha tersebut dibentuk mulai dari dasar (Kita pun dapat menyimpulkan bahwa hal ini bukanlah sebuah proses beradaptasi dengan lingkungannya, tetapi lebih ke sebuah proses selektif dimana mereka yang tidak siap akan keluar dari lingkup kewirausahaan (Krueger, 2001b)).
4.  Bagaimana pembelajaran khusus dapat berubah menjadi keputusan?
Menurut analisa (Cox  1996; Peterson dan Kennedy, 2002), peluang dinilai menguntungkan (Corbett, 2002). Pengalaman yang berbeda sudah semestinya akan menghasilkan hasil yang berbeda pula, dan studi kognitif dapat membantu dalam memberikan landasan teori akan hipotesis. Sebagai contoh, apa yang menjadi inti dari pelatihan ketrampilan untuk sebuah perusahaan?
5. Bagaimana cara mengubah penemuan menjadi sebuah pelatihan/pembelajaran?
Penemuan – penemuan ini dapat diusulkan pada program pelatihan kerja. Maksud saya adalah, seperti Universitas Victoria yang melatih para siswanya untuk menjadi orang – orang yang ahli, atau bisa juga Guth dan koleganya merubah riset sebagai pembelajaran (Guth dkk, 1991; Mezias dkk., 2001). Bagaimanakah kita melatih orang – orang untuk melihat diri mereka sebagai pengusaha? Bagaimanakah cara melatih mereka untuk melihat peluang yang dinilai layak untuk diteruskan?
6.  Alat-alat apa saja yang digunakan dalam konteks ruang lingkup kewirausahaan?
Terdapat beberapa alat yang dapat menunjang pemahaman kewirausahaan, seperti teorinya Baron (fenomena tiga aspek kunci). Contoh lainnya yaitu kegunaan Brunswilk lens, macam - macam pemikiran yang berbasis pada fakta, dan masih peru diteliti lagi (Gaglio 2002).
Kuncinya adalah, dengan mengadaptasi teori dan metode, serta mengetesnya dalam kewirausahaan. Contohnya, apabila pengusaha melihat peluang dalam sebuah sinyal dan antena pada lingkungannya, maka kita perlu mempergunakan teori dan metode tersebut.
7.  Bagaimana dengan aktivitas kewirausahaan dalam suatu organisasi?
Deborah Brazeal dan Ted Herbert (2000), dengan mengambil teori Kuratko (1993), Shapero (1982), Hodgkinson (1997) dan Guth (1991), Mezias dkk. (2001), berpendapat bahwa perusahaan harus berpikir secara kewirausahaan dikarenakan banyaknya penghalang yang ada. Penghalang tersebut dapat membatasi kewirausahaan sebagai sesuatu yang ideal dalam pola pikir kewirausahaan.
8.  Ruang lingkup apa saja yang harus ditelusuri dalam kewirausahaan
Kami masih menyelidiki ruang lingkup dalam kewirausahaan meliputi: Franchise, usaha keluarga, organisasi sosial, bahkan multilevel marketing (MLM).
Kewajiban dan peluang adalah hal yang berbeda bagi seorang pengusaha. Sebagai contoh, seseorang bisa saja berpendapat bahwa seorang pengusaha berkewajiban untuk fokus pada kelayakan hidupnya sementara peluang, dijadikan sebuah keinginan yang akan dicapai.
Dimensi lain dari kewirausahaan ini perlu dianalisa kembali, seperti Teal dan Carroll, yang mengemukakan moral dari pengusaha (1999). Bagaimana norma budaya mempengaruhi sikap dan kemauan berwirausaha? (Dana, 1995).
9.  Apa yang menjadi ruang lingkup ilmu pengetahuan kognitif psikologis yang dapat kita telusuri?
Robert Baron mengemukakan bahwa kita dapat menilik kembali teori Tory Higgins tentang teori regulasi dan teori pendeteksi sinyal. (regulatory and signal detection theory) McMullen dan Sheperd menemukan bukti yang kuat didalamnya (2002). Ketika kita dihadapkan pada tiga aspek kunci, yang harus dilakukan adalah dengan mengelompokkannya dalam sebuah kategori.
Sudah semestinya kita menelusuri lebih jauh mengenai dimensi dan pemikiran kewirausahaan. Barbara Bird dan Page West akhir – akhir ini mengedit jurnal yang membahas mengenai masalah ini (1997).
Kita memerlukan pemahaman empiris akan fenomena kognitif yang berhubungan dengan kewirausahaan, sebagaimana Simon menyebutnya dalam tiga tingkat: Neurologis, Simbolik, dan Semantik. Pada tingkatan apakah semantik dapat dikelompokkan dengan simbolik?
10.  Dimanakah riset akan kewirausahaan memiliki titik temu dengan bidang studi lainnya?
Bidang studi yang satu dengan yang lain saling mempengaruhi. Mitchell menunjukkan bahwa pendidikan psikolog bukanlah satu – satunya riset kognitif yang digunakan dalam kewirausahaan, tetapi masih ada yang lain lagi. Contohnya adalah, bekerja sesuai dengan kewirausahaan akan mempersulit bagaimana kemauan itu dicapai.
Kami percaya, bahwa hal ini dapat diatasi. Ekonomi telah lama menjadi aspek penentu pengambilan keputusan (Hogarth 1986) dan pemikiran yang strategis sangat berkembang dalam manajemen.
KESIMPULAN
            Untuk memahami kewirausahaan perlu memahami psikologi kognitif dari seorang pengusaha.  Psikologi kognitif tersebut dapat dilihat dari pola pikir seseorang.  Elemen-elemen penting dalam psikologi kognitif seperti persepsi, pengambilan keputusan, pengetahuan, pembelajaran dan perkembangan kognitif dapat diasosiasikan dalam fenomena kognitif dengan “melihat” atau “menangkap peluang”.


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar