Rabu, 26 Oktober 2011

FILSAFAT ILMU



WHAT IS “SCIENCE”? Archie J.Bahn

Apa itu ilmu? Ilmu dipahami melibatkan 6 komponen, yakni:
  1. Masalah
  2. Sikap
  3. Metode
  4. Kegiatan
  5. Kesimpulan
  6. Efek

Masalah
Tidak ada masalah, tidak ada ilmu. Pengetahuan ilmiah diperoleh dari pemecahan masalah ilmiah. Apabila tidak ada masalah, tidak ada pemecahan dan tidak ada pengetahuan ilmiah.
Apa yang membuat sebuah masalah itu “ilmiah”? Apakah semua masalah ilmiah? Tidak. Jika tidak, apa karakteristik dari sebuah masalah yang dikatakan ilmiah?
Archie J. Bahn mengajukan hipotesisnya bahwa sebuah masalah dikatakan ilmiah apabila memiliki 3 karakteristik yakni:
  1. Bisa dikomunikasikan
  2. Berhubungan dengan sikap ilmiah
  3. Berhubungan dengan metode ilmiah

Sikap
Sikap ilmiah mencakup paling tidak 6 karakteristik yakni:
  1. Keingin tahuan, yang berkaitan dengan bagaimana keberadaan sesuatu, seperti apa sifat-sifatnya, apa fungsinya dan bagaimana keterkaitannya dengan yang lain. Keingintahuan ilmiah memiliki tujuan untuk memahami.
  2. Spekulasi, supaya  bisa dikategorikan ilmiah, maka seseorang harus punya kemauan untuk memecahkan masalah, meskipun masalah ilmiah tidak bisa segera dapat diketahui dengan jelas, maka harus membuat satu atau beberapa hipotesis sebagai sebuah usaha spekulasi, juga harus berani menghadapi resiko atas opini yang belum diketahui kebenarannya saat membuat pendapat awal. Hipotesis awal sering kali sangat spekulatif, dan setiap hipotesis baru, kecuali mungkin yang berasal dari deduksi dari prinsip-prinsip yang sudah pasti, perlu beberapa spekulasi.
  3. Kesediaan untuk obyektif, “obyektivitas” merupakan sebuah sikap subyektif. Kemauan dan usaha untuk obyektif dianggap penting untuk menjadi ilmiah karena sikap ini lebih baik, lebih mendukung pencapaian hasil yang terpercaya. Bagi yang salah membagi 2 kutub yang berbeda antara “obyektifitas” dan “subyektifitas”, akan saling meniadakan dan mungkin heran atas intensitas keinginan mereka pada hasil yang terpercaya, tetapi harus mengabaikan saling ketergantungan antara 2 hal tersebut. Obyek selalu obyek untuk subyek; tidak ada obyek, tidak ada subyek; tidak ada subyektifitas, tidak ada obyektifitas. Obyektifitas tergantung pada eksistensinya, tidak hanya tergantung pada eksistensi subyeknya tetapi juga tergantung pada kemauan subyek untuk mendapatkan dan memegang teguh sikap obyektif, seperti, ketertarikan untuk memahami hakekat obyek-obyek itu sendiri. Kesediaan untuk bersikap obyektif meliputi:
a.       Bersedia untuk mengikuti keingintahuan ilmiah kemanapun arahnya.
Bukan berarti membahayakan diri sendiri, tetapi kemauan seseorang untuk ingin tahu dan fokus melanjutkan penyelidikan yang dibutuhkan untuk memahami sebanyak mungkin dengan bijaksana.
b.      Bersedia diarahkan oleh pengalaman dan alasan
Seorang empiris dan rasionalis yang ekstrim sering memisahkan alasan dan pengalaman. Empiris ekstrim menegaskan bahwa pengalaman yang berhubungan dengan pancaindra merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Rasionalis ekstrim menyatakan bahwa hanya beliefs/keyakinan yang sesuai dengan  hukum-hukum yang rasional yang bisa dikatakan benar. Golongan ekstrim semacam ini seringkali tidak setuju hakekat dan realitas universal dan fakta-fakta. Empiris ekstrim memegang teguh bahwa kita bisa mendapatkan pengetahuan tertentu hanya karena fakta-fakta, dengan kata lain, dari pengalaman sensori tertentu yang menimbulkan data. Rasionalis ekstrim percaya bahwa kita bisa memiliki pengetahuan tertentu hanya dari deduksi universal dan valid; dalam beberapa hal, bentuk-bentuk universal harus dihasilkan demikian juga implikasi/maksud yang bisa dideduksi. Tetapi pada kenyataannya yang universal/umum dan yang khusus saling berinteraksi dan bergantung dalam pengalaman dan proses investigasi ilmiah tergantung  keberhasilan pada saling keterhubungannya. Meskipun sikap tentatif juga diperlukan dalam sikap ilmiah, kepercayaan pada generalisasi berdasar pengalaman silam serta deduksi berdasarkan pemaparan validitas yang logis diperlukan untuk memampukan seorang ilmuan memproses penyelidikannya. Alasan menolak hipotesis yang mengandung kontradiksi tidak memiliki dasar yang cukup.
Dua pemahaman pengenai alasan, yang seringkali dibedakan bahkan dipisahkan. Alasan, di satu sisi, dipahami sebagai kesesuaian dengan hukum rasional sementara di sisi lain, alasan dipahami sebagai kemampuan memilih diantara satu atau lebih alternative yang lebih baik atau yang terbaik. Sebagai contoh pada saat kita memilih antara 2 alternatif dimana yang satu kelihatannya lebih baik dari yang lain, tindakan apa yang sebaiknya dilakukan? Pilihlah yang lebih baik. Bagi yang punya alasan bahwa kesesuaian dengan hukum rasional lebih baik akan memilih pilihan yang sesuai dengan hukum rasional. Dalam memilih alternative yang lebih baik, seseorang siap menyesuaikan dengan hokum rasional. Kemauan diarahkan oleh pengalaman dan alasan mencakup kemauan untuk cukup masuk akal di kedua hal tersebut.
c.       Bersedia menerima
Data, sesuatu yang ada dalam pengalaman ketika obyek diobservasi, diterima sebagai bukti yang relefan pada masalah yang sedang dipecahkan. Sikap ilmiah mencakup kemauan untuk menerima data sebagaimana adanya, tidak ditafsir dengan preferensi peneliti. Penerimaan meliputi kemauan untuk mengambil apa yang diberikan, seperti apa, tanpa melakukan kesengajaan atau bahkan keinginan melakukan distorsi/penyimpangan.
d.      Bersedia diubah oleh obyek
Ketika seorang ilmuwan menemukan sesuatu yang tidak ia ketahui sebelumnya, dia menjadi berubah karena penambahan pengetahuannya. Perubahan semacam ini kelihatannya sederhana/sepele untuk para ilmuwan yang ingin memperoleh pengetahuan dan kemudian menghendaki keinginannya yang ada di awal terpenuhi. Tetapi beberapa temuan ilmiah sebagai hasil revolusi ilmiah, dengan kata lain, dalam konsep yang berubah secara radikal, meliputi diri, masyarakat, atom dan galaxy. Hal-hal ini memerlukan ilmuwan, yang mau obyektif, merevisi dan mengkonstruksi kembali konsepsinya atas diri sendiri dan juga hal-hal lain. Jika seseorang tidak bersedia berubah sebagaimana yang diminta karena hasil dari keberhasilan investigasi ilmiah, maka bisa dikatakan seseorang itu kekurangan sesuatu yakni bersedia menjadi obyektif.
e.       Bersedia melakukan kesalahan
Metode trial dan error menjadi karakteristik ilmu dan sejumlah besar kesalahan terjadi sebelum memberi hasil, sangat banyak terjadi, sehingga seorang ilmuwan harus berharap bahwa dia menghabiskan lebih banyak waktunya dalam usaha membuat kesalahan daripada mendapatkan kebenaran. Tentu saja, pada tataran ini bahwa setiap kesalahan, setiap hipotesis yang salah dihapus akan membantu menuju investigasi yang berakhir dengan sukses, masing-masing harus dianggap memiliki nilai yang membantu dan memiliki nilai seperti apa adanya. Bagi yang ingin berhasil pada usaha pertamanya, dirasakan kurang sesuatu yang esensial di dalam sikap ilmiah.
Meskipun  “obyektifitas” berkaitan dengan obyek-obyek yang sedang diselidiki, obyektifitas juga berkaitan dengan metode-metode yang digunakan untuk mencoba memahami obyek-obyek tersebut. Obyek itu sendiri pada hakekatnya memberi informasi ketika beberapa metode dipakai. Jadi, kemauan bersikap obyektif melibatkan kemauan memakai metode yang dibutuhkan oleh sifat dasar obyek-obyek tersebut. Kemauan bersikap obyektif melibatkan kesediaan melakukan kesalahan apabila metode yang dipakai tidak mencukupi dan kesediaan mencoba mengatasi kesalahan dengan yang lain, yakni metode yang lebih baik. Kesediaan bersikap obyektif melibatkan kesediaan menjadi frustasi dalam usaha sesering diperlukan selama proses investigasi.
Kesediaan melakukan kesalahan seharusnya tidak mengurangi ketidaksediaan melakukan kesalahan, juga menjadi cirri khas sikap ilmiah. Tetapi karakteristik ini, dengan kata lain, tujuan menjadi benar, baik menerima kebenaran dan mengatakan kebenaran, merupakan perkiraan yang jelas dan fundamental dari kegiatan ilmiah yang tidak bisa dipungkiri lagi.
f.       Bersedia bertahan
Meskipun tidak ada aturan berapa lama seorang ilmuwan harus bertahan dalam bergulat dengan masalah yang sulit, kesediaan untuk bersikap obyektif mengandung makna kesediaan melanjutkan, selama mungkin, mencoba memahami obyek atau masalah sampai memahami yang sudah dicapai. Seseorang yang berhenti berusaha ketika frustasi dalam banyak hal untuk memahami menghentikan sesuatu yang penting dari sikap ilmiah. Seseorang bisa harus berhenti karena dananya habis, tetapi hal ini tidak kemudian menjadikannya menyerah bersedia mencoba lebih lanjut.
     
  1. Memiliki pemikiran terbuka, memiliki pemikiran terbuka mencakup kesediaan mempertimbangkan semua saran yang relefan yang berkaitan dengan hipotesis, metodologi dan bukti yang berhubungan dengan masalah yang sedang dia kerjakan. Hal ini mancakup, kesediaan bertoleransi dan bahkan mengundang ide-ide baru, yang tidak saja hanya berbeda tetapi jug aide-ide yang terlihat berlawanan dengan kesimpulan-kesimpulannya. Selama bukti-bukti tetap tidak meyakinkan, kesediaan untuk mendengar dan menguji pandangan-pandangan orang lain dan tidak bersedia menyalahkan tanpa alasan yang mencukupi.
  2. Menahan diri mengambil kesimpulan, ketika penelitian atas sebuah obyek atau masalah tidak menghasilkan pemahaman atau solusi yang diinginkan, seorang ilmuwan bersedia tidak menginginkan jawaban lebih banyak daripada yang dia dapat. Sikap ilmiah melibatkan kesediaan menahan diri membuat keputusan sampai semua bukti-bukti yang penting tersedia. Ini berarti kesediaan untuk tetap tidak menentu dan bagaimanapun juga kesabaran diperlukan dengan melanjutkan jeda.
  3. Bersifat sementara/tidak pasti, hipotesis yang belum teruji termasuk hipotesis yang  sedang dikerjakan seharusnya dilakukan dengan sikap kesementaraan, tetapi semua usaha ilmiah, termasuk keahlian khusus seseorang, tetap sedikit meragukan.Meskipun pengalaman personal ataupun kelompok cenderung menjamin dengan lebih tegas mengenai kesimpulan-kesimpulan karena mereka terus bekerja lebih lama dan lebih baik dan  lebih penuh (lewat saling keterhubungan yang harmoni dengan kesimpulan-kesimpulan yang dilakukan di bidang-bidang lain), bukti-bukti kepastian tetap kurang dari 100%.(prosentase yang ada berasal dari deduksi bukti).
Kajian-kajian sejarah ilmu memberi bukti bahwa system ilmiah yang menjadi kuat dan kebanyakan diterima secara universal di satu jaman, selalu tetap tidak mencukupi dan akhirnya memberi peluang adanya konsepsi-konsepsi revolusioner yang mengarah pada pembentukan system baru berdasarkan dugaan-dugaan yang sangat berbeda. Bukti sejarah, paling tidak, memberi identifikasi bahwa keyakinan yang paling kuat yang ada saat ini dan system yang paling memadai dan yang paling ruwet belum memberi sesuatu yang lebih memadai. Sepanjang kemungkinan ini tetap dalam kemungkinan, dogmatisme yang berhubungan dengan kesimpulan-kesimpulan yang bisa diterima saat ini tidak bisa dijamin. Sikap ilmiah memerlukan kesediaan untuk tetap tentative untuk semua kesimpulan-kesimpulan ilmiah. Ini juga berarti sebuah kebutuhan untuk tetap tidak dogmatis mengenai metode, karena kesimpulan-kesimpulan yang berbeda bisa tergantung dari penetapan mereka pada pembedaan metode yang dibutuhkan untuk mengukuhkannya.
Interpretasi sikap ilmiah yang sudah dipaparkan mencakup gambaran seorang ilmuwan karena selalu mengalami   ketegangan antara tenacity (keuletan) dan kesementaraan. Dilain pihak, dia harus tetap dalam pencariannya dan memegang hipotesisnya dalam jangka waktu yang lama selama hipotesis tersebut paling bagus diperoleh. Dilain pihak, ilmuwan harus tetap tidak yakin bahwa kesimpulan-kesimpulan terbaiknya tidak sepenuhnya terjamin.

Metode
Archie j. Bahn mengusulkan mengenai hakekat metode ilmiah harus dianggap sebagai hipotesis untuk diuji lanjut. Pokok pembicaraannya sangat controversial.
Dilain pihak: “Apa yang membuat sebuah kajian menjadi ilmiah bukan sifat dasar dari sesuatu hal yang dibahas, tetapi metode yang dipakai untuk membahas hal tersebut”. “Inti dari ilmu adalah metodenya.” “Ilmu (sebagai teori) merupakan sesuatu yang selalu berubah. Teori-teori yang ada saat ini bukan teori-teori ratusan tahun lalu. Apakah ada hal yang tidak berubah dalam ilmu? Ada, yakni metode.
Dilain pihak: “Dengan mempertimbangkan hakekat metode ilmiah, ilmuwan itu sendiri tidak selalu memiliki ide-ide yang jelas dan penting.” “Dalam banyak kasus, tidak ada kesepakatan mengenai metodologi diantara para ilmuwan itu sendiri.” “Metode ilmiah, seperti orang-orangan yang buruk sekali, sudah menjadi obyek ketertarikan tetapi dalam pencariannya kesemuanya tidak berhasil. Pencarian tersebut menghasilkan sejumlah ilmuwan yang sedikit bingung; ……sehingga tidak mendapat lebih pencerahan dibanding sebelumnya.

1. Metode versus metode-metode
Kontroversi dan kebingungan yang dihasilkan, diduga sebagian terjadi akibat dari pengabaian untuk menghubungkan masalah dengan perbedaan antara science dan the sciences.  Bahkan disini tetap terjadi kontroversi. Di satu pihak: alasan untuk memahami “…..metode ilmiah seolah-olah hanya ada satu dan satu-satunya metode adalah kesamaan-kesamaan antara aplikasi-aplikasi yang berbeda dari ilmu-ilmu yang berbeda lebih besar dibandingkan dengan perbedaannya….Pemisahan total mengungkapkan bahwa hanya ada satu metode ilmiah.” Dilain pihak : “Bukan ilmu tetapi ilmu-ilmu…..Tidak ada ilmu tunggal, tetapi serangkaian atau keluarga ilmu-ilmu.”
Tanggapan Archie J. Bahn atas kontroversi ini apakah metode ilmiah ada satu atau banyak bahwa ada beberapa hal yang benar dikedua pandangan tersebut. Metode ilmiah itu bisa satu dan bisa banyak.
a.       Ada satu. “Tidak ada masalah pokok atas metode ilmiah yang tidak bisa diaplikasikan.” Hakekat metode ini akan dicermati lebih lengkap dibawah ini.
b.      Ada banyak. Pada kenyataannya, metode ilmiah ada banyak dalam berbagai cara :
(1). Setiap ilmu memiliki metodenya sendiri yang paling cocok untuk masalah-masalah tertentu. Jelaslah bahwa ahli biologi harus menggunakan mikroskop dan ahli astronomi memakai teleskop dan jelaslah bahwa ahli biologi memakai kelompok-kelompok control sementara ahli astronomi tidak bisa mengontrol obyek-obyek mereka. “Setiap ilmu tertentu akan berubah-ubah dengan sangat banyak dalam metode-metodenya….”. Metode-metode dari ilmu-ilmu yang berbeda sangat khusus sehingga beberapa orang tergoda untuk mengelompokkan ilmu-ilmu berdasarkan metode-metode yang berbeda. Tetapi perbedaan permasalahan itulah yang memulai dan membedakan ilmu-ilmu.
(2). Setiap masalah tertentu bisa memerlukan metodenya sendiri yang unik. “Masalahnya adalah membedakan metode tersebut…..akan ada metode ilmiah yang berbeda sebanyak masalah fundamental yang berbeda.”. Tidak ada aturan yang bisa diikuti: setiap eksperimen adalah kasus dalam dirinya sendiri.” Bahkan dalam satu ilmu, ada banyak metode dikembangkan. Gordon Alport mendapati bahwa Psikologi Personalitas sendiri memakai sekitar 52 metode-metode tertentu. Banyaknya metode yang berbeda dibuktikan oleh Guide to Scientific Instruments, 1973-74, yang berisi lebih dari 25.000 catatan.
(3). Menurut sejarah, ilmuwan di bidang yang sama dalam era yang berbeda memakai metode-metode yang sangat berbeda karena perbedaan baik dalam pengembangan teori dan temuan teknologi. Meskipun, metode-metode terdahulu sudah menjadi usang, haruskah kita tidak mengenal karakter ilmiah metode-metode tersebut karena kontribusi metode-metode tersebut pada pencapaian ilmiah terdahulu?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar